1. Pengantar: Dua Pengalaman Nyata
Pertengahan Juli 2008, setelah hampir empat tahun mengais ilmu di Eropa, saya kembali
untuk menjenguk tanah kalahiranku, Fialaran di Belu, Timor. Di Lasiolat (Lahurus) dan di
Raihat saya terkejut. Semua bukit pada gersang. ‚Abat-abat’ (kebun di wilayah basah, dengan
tumbuhan utama pinang, sirih, kelapa atau pisang) tidak selebat dulu lagi. Banyak sumber air
yang mengering atau berkurang debitnya. Keprihatinan ini kian bertambah tatkala menyaksikan
ada masyarakat yang memotong pohon kemiri untuk dijadikan papan, yang dulunya hanya untuk
dijadikan kayu bakar saja pun dianggap luli (pemali).
Ini hanya sebagian kecil kisah minor tentang minimnya kesadaran kosmis pada
sebagian anggota masyarakat kita, tentang lunturnya kepekaan mereka dalam hal menjaga
keselarasan hidupnya dengan alam. Di tengah geliat perubahan zaman plus pembangunan dan
kemajuan teknologi serta pencerahan rasio ini, manusia justeru memperlakukan alam secara tak
bersahabat, meski kesadaran eksistensial akan ketakterpisahan dari alam terus mendera setiap
insan. Sungguh suatu ironi, kita terus menjerit karena kepanasan, kekurangan air, kekurangan
pakan untuk ternak, hilangnya berbagai jenis ikan; sementara itu kita terus merambah hutan,
membakar dan menggunduli padang serta merusak berbagai jenis kehidupannya di sungai
dengan racun dan strom (arus).
Tanggal 2 September 2008, seminggu sebelum kembali ke Eropa, saya diundang untuk
turut menyaksikan panen ikan/udang di Mota Klot (Kali di kaki gunung Lakaan). Ini kebiasaan
tua di Lasiolat, di mana untuk suatu jangka waktu tertentu, atas sungai tersebut dikenakan
larangan, dan kemudian pada suatu waktu yang ditentukan, semua anggota masyarakat bersama-
sama pergi menangkap hasil sungai tersebut. Meski hasilnya tidak seberapa, tapi kebiasaan ini
membawa nuansa tersendiri sebagai suatu kesempatan untuk menikmati secara bersama hasil
alam. Dari sinilah lahir kesadaran akan tanggung jawab manusiawi terhadap alam dan generasi
mendatang.
Tidak dapat disangkal bahwa budaya lndonesia pada umumnya, atau pun NTT dan Belu
pada khususnya sangat menghargai alam. Leluhur kita sebenarnya telah mewariskan nilai-nilai
luhur untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup. Mereka sangat menghormati alam yang
memberi mereka kehidupan. Mereka menganggap keseimbangan alam sebagai bagian dari
tanggung jawab mereka, sebab alam merupakan sumber kehidupan bagi mereka dan anak cucu
mereka. Karena penghargaan mereka yang tinggi itulah akhirnya lahir berbagai tradisi dan aturan
yang pada intinya bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Berbagai kearifan
lokal dari leluhur itu meski terus diwariskan hingga kini, namun sebagian besar manusia masa
kini, telah kehilangan kesadaran akan nilai-nilai berharga warisan leluhur.
Sehubungan dengan berbagai kearifan lokal yang diwariskan leluhur itu, masyarakat
Fialaran di Belu pun memiliki berbagai aturan dan tradisi yang bertujuan untuk memelihara
keseimbaugan relasi antara manusia dengan alam serta untuk memelihara kelestarian lingkungan
hidup. Di antara berbagai kearifan lokal yang mereka miliki, ada dua tradisi yang hingga kini
masih dihidupi. Kearifan lokal yang dimaksud itu adalah tradisi Badu dan Sau. Topik inilah
yang akan dibahas dalam karya tulis ini, dan akan dirangkai dengan uraian mengenai pentingnya
dihidupkan kembali kearifan itu pada taraf lokal di masa ini, masa yang sementara dilanda krisis
ekologi.
2. Tradisi Badu dan Sau di Fialaran - Belu: Makna, Dasar dan Tujuan
2.1. Pandangan Masyarakat Fialaran - Belu Terhadap Alam
Khusus dalam bidang kebudayaan, orang Fialaran di Belu mengenal apa yang disebut
Ukun no Badu, Kneter no Taek (peraturan atau hukum dan larangan, norma dan adat sopan-
santun). Dalam hubungan dengan berbagai peraturan dan larangan yang diwariskan oleh leluhur,
terutama yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup, orang Fialaran dan Belu pada
umumnya mengenal tradisi Badu dan Sau. Dua tradisi yang lahir dari kesadaran mereka akan
tanggung jawabnya terhadap kelestarian lingkungan dan penghormatan mereka terhadap alam
sebagai sumber yang menjamin kelangsungan hidup mereka.
Pada prinsipnya, masyarakat tradisional di Fialaran sebagaimana masyarakat tradisional
di NTT pada umumnya, memandang alam sebagai sesuatu yang mengandung unsur sakral.
Karena itu alam perlu dihorrnati, ia merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Orang Fialaran
menganggap tempat-tempat tertentu di sekitar lingkungannya memiliki nilai sakral. Biasanya
tempat-tempat itu adalah gunung atau bukit, sumber air, dan hutan. Hutan di sekitar lokasi
sumber air atau di atas gunung dianggap sakral, dan biasanya dijadikan sebagai tempat untuk
mempersembahkan korban dalam ritus-ritus tradisional. Di sana sering ditemukan banyak foho,
mesbah atau altar dari batu yang dipergunakan untuk mempersembahkan kurban bagi leluhur
dan wujud tertinggi yang mereka yakini. Karena pandangan demikian, orang Belu akan selalu
berusaha untuk memelihara kelestarian lingkungan hidupnya. Relasi yang seimbang dan selaras
dengan alam sangat ditekankan dan mereka selalu mengusahakan hidup yang terintegrasi dengan
alam di sekitarnya. Hal ini merupakan perwujutan dari falsafah 'Tetun" yang dimiliki orang Belu
(tetun akar katanya tetu: menimbang, selalu mengusahakan keseimbangan dalam hidup).
2.2. Badu dan Sau: :Makna, Dasar dan Tujuan
Tradisi Badu sebenarnya dimiliki oleh hampir semua masyarakat di Belu. Badu,
secara etimologis berasal dari bahasa Tetun (bahasa orang Fialaran – Belu ) yang artinya
bisa diterjemahkan sebagai larangan dalarn bahasa Indonesia. Dalam artinya yang asli,
badu merupakan sebuah aturan yang melarang warga masyarakat dalam suatu daerah untuk
mengambil hasil kebun milik orang lain atau hasil hutan milik umum sebelum masa panen tiba.
Aturan badu ini juga mengatur siklus penangkapan udang, belut, ikan di sungai (mota) atau
kolam (debu), bahkan dalam masyarakat yang kebiasaan adatnya sangat ketat, badu mencakup
juga larangan mengambil buah-buahan dari kebun milik sendiri sebelum masa panen atau tanpa
izinan dari petugas yang mengawasi kebun atau hutan di wilayah bersangkutan. Badu ini berlaku
tanpa kecuali, untuk semua golongan masyarakat.
Dalam masyarakat tradisional, orang yang bertugas mengawasi pelaksanaan larangan ini
dinamakan Maklea’t, (pengawas). Maklea't ini berada di bawah perintah dato (kepala kampung)
yang bertanggung jawab terhadap nai (raja, pemegang hukum). Yang melanggar larangan ini
akan dihukum secara adat dengan kebiasaan yang dinamakan tusan (denda adat). Dalam tradisi
tusan ini, seseorang yang kedapatan mencuri atau mengambil hasil hutan, kebun atau danau dan
sungai tanpa izin makleat biasanya diharuskan untuk mengembalikan apa yang diambil dalam
jumlah tertentu, biasanya dua atau tiga kali lipat sesuai kesepakatan awal. Anggota masyarakat
bersangkutan juga harus membayar jasa orang yang menangkapnya (selu matamarek), dan
diharuskan untuk menyediakan seekor binatang (babi atau kambing dalam kasus ringan dan sapi
dalam kasus berat). Binatang itu akan dibunuh, dagingnya dibagikan kepada seluruh penghuni
kampung sebagai suatu pemberitahuan sekaligus peringatan untuk menaati larangan tersebut.
Sedangkan potongan kaki atan tulang rahang dari binatang itu akan diikatkan pada daun atau
pucuk kelapa lalu digantungkan di jalan-jalan menuju kebun atau wilayah badu yang biasa
dilalui banyak orang. Tanda itu dinarnakan horak atau tanda larangan, untuk memperingatkan
anggota masyarakat agar tidak secara sebarangan mengambil hasil kebun orang lain atau dari
kawasan yang dikenai ukun (hukum) badu.
Sedangkan Sau merupakan tradisi yang diwariskan leluhur, meski pada zaman ini
tradisi tersebut sudah jarang dilaksanakan. Sau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan
dengan frase: panen raya. Pada musim-musim tertentu, sungai, kolam atau danau serta kebun
yang dikenakan badu akan dipanen. Untuk sungai dan danau masa panennya tiba pada akhir
musim panas. Seluruh penghuni kampung berhak untuk menangkap hasil sungai yang dianggap
sudah layak untuk dikonsumsi, sementara yang masih kecil dibiarkan agar bisa berkembang
lagi. Setelah Sau atau panen raya, larangan atau badu akan diberlakukan lagi hingga musim
panen tahun berikutnya. Sedangkan hasil kebun, biasanya di abat (kebun sirih-pinang dan
buah-buahan lainnya) akan dipanen bila dianggap secara keseluruhan sudah matang dan bisa
dikonsumsi. Biasanya tidak semua anggota masyarakat memiliki abat, tapi mereka tetap turut
serta dalam kegiatan panen raya itu. Mereka akan mendapat bagian tersendiri. Sedangkan untuk
wilayah hutan adat, seseorang boleh mengambil hasil hutan sesuai kebutuhan, bila ada izinan
dari pengawas hutan. Tetapi areal hutan di sekitar sumber air (alas we ulun) biasanya dilarang
sama sekali.
Beberapa tradisi Sau yang unik di Fialaran dan masih sering dilaksanakan adalah sau
niki (panen kelelawar atau kalong) di Wilain (Tohe), kecamatan Rai Hat dan tradisi hola wani
(panen lebah madu) serta sau mota (panen hasil sungai) di kecamatan Lasiolat. Pada tahun-
tahun tertentu semua warga dari daerah sekitar Tohe akan beramai-ramai menangkap kelelawar
di sebuah gua yang terletak di bukit karang Wilain. Acara ini akan didahului dengan ritus
tersendiri. Sedangkan Hola Wani masih dilakukan di banyak tempat. Pada musim tertentu,
biasanya sekitar bulan Agustus sampai Oktober, diperkirakan madu lebah sudah matang, maka
anggota masyarakat akan pergi ke tengah hutan untuk memanen madu. Setiap suku memiliki
sarang lebah (wani Uman) tersendiri. Tiap anggota masyarakat pergi kepada milik sukunya
dengan seorang laku (laku: musang, juga sebagai julukan untuk orang yang pandai memanjat
pohon).
3. Kearifan Lokal Badu dan Sau Sebagai Basis Bagi Upaya Konservasi Alam
3.1. Krisis Ekologi Sedang Mengglobal, Konservasi Atas Alam Perlu Diupayakan
Tentang relasi antara manusia dan alam, Antonio Moroni, seorang guru besar ekologi dari
Universitas Parma-Italia punya suatu teori. Katanya, pernah ada suatu masa di mana hubungan
antara alam dan manusia masih dicirikan oleh adanya suatu keselarasan atau keseimbangan.
Manusia primitif yang hidup pada masa itu belum mengenal dunia pertanian dan peternakan.
Hidup mereka sepenuhnya bergantung pada alam. Mereka menjadi pemburu dan pengumpul
buah-buah dari hutan tanpa sedikitpun merusakkan alam. Bagi mereka, bumi merupakan sesuatu
yang sakral. Itulah zaman Paleolitikum (590.000 SM). Hubungan itu mulai retak ketika terjadi
apa yang dinamakan Revolusi Neolitikum, masa di mana manusia mulai mengubah lingkungan,
meski itu belum terlalu banyak merusak alam. Pada masa itu manusia mulai mengenal teknik
bertani dan beternak. Penemuan teknologi api dan penggunaan peralatan dari kayu, tembaga,
perunggu, besi dan perak perlahan-lahan memperjelas keretakan relasi antara manusia dengan
alam. Itu bermula di Asia Barat Daya (8000-7000 SM), di Eropa Tenggara (5000 SM) dan di
Belanda-Belgia sekitar tahun 4000 SM. Tetapi meski demikian, keseimbangan alam masih
terpelihara.1
Hanya keadaan menjadi sama sekali terbalik ketika di abad XVII manusia si makhluk berrasio
mulai menciptakan berbagai metode ilmiah serta mulai menerapkan model-model teknologi
temuan mereka. Akibatnya alam dieksploitasi secara besar-besaran, dan ini berbuntut pada.
terganggunya kelestarian lingkungan hidup. Berhadapan dengan alam, manusia mengklaim
dirinya sebagai subyek aktif, yang bisa berbuat apa saja atas alam yang dianggap pasif.
Manusia yang mengklaim dirinya sebagai realitas mutlak itu, mulai melepaskan dirinya dari
kuasa alam dan berusaha untuk menaklukkan dan menguasai alam. Maka terjadilah apa yang
dinamakan 'penindasan atas alam'. Manusia memperlakukan alam seakan-akan alam hanyalah
miliknya semat. Manusia mengeksploitasi alam tanpa ada sedikitpun penghargaan terhadap
keindahan, kebinekaan ciptaan, tanpa adanya. kepekaan dan rasa kasih terhadap binatang-
binatang. Sikap antroposentris ini terutama berkembang dalam kultur Barat yang ditunjang oleh
teknologi tinggi, dan sekarang hal ini telah menjadi ciri destruktif dari peradaban global.
Hal utama yang memicu terjadinya krisis ekologi adalah ledakan penduduk yang terjadi terlebih
sejak tahun 1925. Pada tahun itu jumlah penduduk dunia tercatat ada 2 miliar jiwa, 50 tahun
sesudahnya berlipat dua menjadi 4 miliar, dan pada pertengahan tahun 1999 tercatat ada 6 miliar
penduduk dunia.2 Akibatnya adalah meningkatnya kebutuhan pokok manusia, sehingga teknik-
teknik industri pun semakin ditingkatkan. Industrialisasi yang didukung oleh ilmu dan teknologi
modern ternyata telah menimbulkan eksploitasi yang berlebihan atas alam, punahnya spesis
tumbuhan dan hewan tertentu serta menyebabkan polusi atas air, tanah dan udara.
Beberapa persoalan yang mencolok dalam krisis ekologi dewasa ini adalah:3 pertama,
pemanasan global dan efek rumah kaca. Konsentrasi karbondioksida (C02) di atmosfer
menyebabkan meningkatnya suhu bumi. Karbondioksida dan gas-gas lain yang dibuang ke udara
akan menyelimuti admosfer, dan itu akan menghalangi pemancaran panas bumi ke angkasa luar.
Gejalah inilah yang dinamakan efek rumah kaca. Sementara itu kerusakan yang terjadi pada
alam telah mengakibatkan perubahan iklim bumi, sehingga produksi panen sangat menurun. Gas
Ozon (03), lapisan gas yang berada di luar admosfer dan berfungsi untuk melindungi bumi dari
radiasi sinar Ultraviolet matahari semakin menipis. Hai ini akan mengakibatkan kanker kulit,
katarak serta menurunnya sistim kekebalan tubuh makhluk hidup terhadap penyakit tertentu.
Sedangkan kejadian yang cukup para adalah masalah polusi. Laut tercemar oleh kebocoran
kapal-kapal minyak raksasa, endapan sisa-sisa penghasilan tenaga atom (sampah nuklir) dan
bahan kimia berbahaya lainnya seperti air raksa yang sangat merugikan kehidupan organisme di
laut. Sedangkan udara menjadi tercemar akibat meningkatnya konsentrasi gas seperti, nitrogen-
oksida, karbon-monooksida dan dioksida, fluor-hidrokarbon dan belerang-oksida. Sementara itu
tanah yang subur dirusak akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, oleh mesin-mesin
pertanian yang berat dan karena pembangunan berskala besar. Inilah sedikit gambaran mengenai
situasi destruktif terhadap alam yang sementara menggolobal.
Bila krisis ekologi seperti ini terus berlangsung, maka bisa dipastikan bahwa batas
mutlak kehidupan akan segera tiba seratus tahun mendatang. Untuk itu, manusia sebagai satu-
satunya makhluk yang punya akal budi, yang paling bertanggung jawab atas kelangsungan hidup
segala organisme di bumi ini perlu berusaha agar kepunahan kehidupan itu bisa dihindari. Ada
banyak cara yang bisa dilakukan manusia untuk tujuan dimaksud. Hingga kini banyak pribadi
dan kelompok tertentu telah banyak berbuat untuk mengatasi krisis ekologi yang mengglobal
ini. Maka baiklah di taraf lokal, masyarakat yang tetdorong untuk memelihara kelestarian
lingkungannya perlu berupaya dengan berbagai cara, termasuk menggali dan menghidupkan
kembali nilai-nilai, tradisi-tradisi serta kearifan lokal lainnya yang diwariskan oleh leluhur.
3.2. Karifan Lokal Badu dan Sau sebagai Pedoman Etika Ekologi Warisan Leluhur
Kebanyakan masyarakat primitif pada zaman dahulu menganggap alam sebagai sesuatu
yang sakral. Karena pandangan demikian, penghargaan mereka terhadap alam begitu tinggi.
Mereka pun senantiasa menjaga keselarasan dalam hubungan mereka dengan alam. Namun
ketika perkembangan dan kebutuhan manusia semakin bertambah seiring penemuan berbagai
metode ilmiah dan teknologi, pandangan tradisional itu pun turut bergeser. Kesadaran manusia
pada zaman dahulu yang menganggap dirinya sebagai bagian dari alam kini telah bergeser. Kini
manusia menyadari dirinya sebagai penguasa alam.
Dalam ilmu antropologi, dikenal tiga wujud kebudayaan.4 Salah satunya adalah:
kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan-peraturan. Masyarakat
tradisional di Filaran sejak dahulu meski masih merupakan masyarakat yang sederhana, teryata
telah memiliki berbagai ide atau gagasan arif yang sangat berguna untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup mereka. Ide-ide itu diwujudkan dalam seperangkat aturan atau norma yang
dirasa sesuai dengan nilai atau makna terdalam di balik aturan atau norma itu. Ide-ide yang
cemerlang itu di antaranya diwjudkan dalam bentuk tradisi badu dan sau seperti yang telah
diuraikan di atas.
Da1am pola pemikiran zaman sekarang, kearifan tradisiona1 demikian bisa dikategorikan
sebagai suatu pedoman etika ekologi atau moral lingkungan hidup. Badu dan Sau sebagai
pedoman etika ekologi sebenamya muncul dari kesadaran hakiki manusia sebagai makhluk
berbudi da1am manghadapi keadaan lingkungannya yang terus berubah. Kesadaran seperti inilah
yang mendorong masyarakat sederhana di Fialaran untuk membentuk sistem pemikiran ekologis
yang kemudian dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak secara bertanggung
jawab. Kearifan lokal ini rasanya penting untuk dihidupkan kembali, mengingat kesadaran
ekologis manusia zaman ini telah berkurang, yang buntutnya mengakibatkan terganggunya
kelestarian lingkungan hidup.
3.3. Kearifan Lokal Badu dan Sau Sebagai Basis Bagi Upaya Konservasi Alam
3.3.1. Pentingnya menggagas Komervasi Alam Berbasis Kearifan Lokal
Gerakan Penghijauan Berbasis Masyarakat (GPBM) merupakan suatu paradigma baru
dalam upaya pemulihan alam yang kritis. Yang mau ditekankan di sini adalah inisiatif dan
peranan masyarakat sebagai subyek pembangun. Masyarakat diberi tanggung jawab besar dalam
menjaga dan malestarikan alam, sementara pemerintah menyediakan berbagai sarana yang
perlu. Di sini kerjasama antara masyarakat dan pemerintah mutlak perlu demi kelestarian alam
yang berkesinambungan dan sinergis. Dalam tataran manusia NTT atau Belu dan Fialaran pada
khususnya, gerakan penghijauan berbasis masyarakat semestinya dimengerti lebih dalam. Di sini
bukan hanya penghijanan yang dimaksudkan, tetapi juga bagaimana memanfaatkan alam secara
bijaksana dan bertanggung jawab, mengelola dan melestarikannya. Tindakan kuratif dalam
bentuk penghijauan haruslah ditunjang oleh tindakan preventif lainnya dalam meminimalisir
kerusakan alam. Gerakan penghijanan berbasis masyarakat juga merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari upaya menggagas konservasi alam berbasis kearifan lokal. Hai ini berarti,
kita harus berusaha untuk mengais dan belajar dari kearifan lokal yang pernah dihidupi oleh
sekelompok manusia pada zaman tertentu, di mana keharmonisan relasi antara manusia dan alam
masih terpelihara.
3.3..2. Konservasi Alam berbasis Kealifan Lokal, Sebuah Telaah atas Tradisi Badu dan
Sau
Leluhur orang Fialarn pada zamannya telah menghidupi apa yang dalam bahasa zaman
ini dinamakan etika ekologi. Dalam kesederhanaanya, mereka telah mengembangkan suatu
pola pemikiran yang cemerlang. Sejak awal mereka telah berpikir jauh ke depan, memikirkan
kebutuhan generasi masa depan. Kearifan lokal Badu dan Sau itu mereka hidupi, lantaran
mereka merasa sangat bertanggung jawab atas terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup.
Mereka yakin bahwa dengan terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup, keberlangsungan
hidup mereka temtama anak cucu mereka akan terjamin. Mereka betul-betul sadar bahwa hidup
manusia sungguh tergantung parla kelestarian lingkungan sekitarnya lnilah sumbangan pertama
dari kearifan lokal Badu dan Sau, yaitu bahwa dengan memelihara kelestarian lingkungan
hidup, keberlangsungan hidup dari 'future generations' atau generasi mendatang akan tetap
terjamin. Dunia dan lingkungan yang kita hidupi sekarang adalah warisan yang kita terima
dari mereka yang telah mendahului kita. Sebagian dari mereka telah berupaya maksimal untuk
mewariskan lingkungan yang masih bisa dikelola untuk memenuhi kebutuhan kita. Untuk
itu, sebagai makhluk yang bertanggungjawab kita juga seharusnya memikirkan keberadaan
generasi mendatang, sebab mereka adalah bagian dari kita yang hidup sekarang. Apa yang kita
pikirkan sekarang tentu akan sangat berpengaruh bagi keberlangsungan hidup generasi yang kita
wariskan.
Sehubungan dengan hak generasi mendatang atas almn ini, dalam pembicaraan tentang
moral lingkungan hidup, seorang pemerhati masalah lingkungan hidup, Guerzte Altner
mengemukakan empat hak dasar dari generasi mendatamg.5 Pertama, generasi mendatang
berhak atas hidup. Kedua, mereka juga berhak untuk tidak dimanipulasi, yaitu mewarisi sesuatu
yang belum diubah oleh manusia secara buatan. Ketiga generasi mendatang berhak atas suatu
dunia yang memiliki pelbagai jenis tetumbuhan dan hewan dalam alam yang kaya dengan
sumber-sumber genetik yang melimpah. Keempat, mereka juga berhak atas udara yang bersih,
lapisan ozon yang utuh dan pertukaran panas yang memadai antara bumi dan atmosfer. Hak-
hak generasi mendatang ini kiranya perlu disadari mulai sekarang. Dengan itu kita tentunya
akan termotifasi untuk mulai mengusahakan kelestarian lingkungan kita dengan berbagai cara;
salah satunya dengan menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal yang telab diwariskan
oleh leluhur kita. Di Belu atau di Fialaran pada khususnya cara itu misalnya bisa dibuat dengan
menghidupkan kembali tradisi Badu dan sau atau berusaha mengambil nilai atan makna dari
tradisi itu, lalu disesuaikan dengan situasi dewasa ini.
Kedua, kearifan lokal Badu dan Sau ini lahir dari dasar pemikiran lokal yang
menganggap perlu untuk menjaga relasi yang selaras antara manusia dengan alam. Hidup
mannsia harus terintegrasi dengan alam di mana ia berada. Manusia bukan berada di luar
alam, terpisah dari dunia, melainkan ia adalah bagian dari dunia; merupakan satu-kesatuan
dengan dunia. oleh karena itu ia harus menjaga keseimbangan dalam relasinya dengan alam.
Lebih jauh, pola pemikiran di atas sebenarnya merupakan pengembangan dari falsafah 'ema
Tetun' (orang Belu), di mana menciptakan keseimbangan dan kesatuan dengan alam adalah
hal yang mutlak pertu dalam kehidupan mereka. Keseimbangan dalam relasi dengan alam
akan menjamin tercapainya kesatuan mereka dengan alam dan itu mutlak perlu, karena orang
Belu beranggapan bahwa alam atau lingkungan hidup itu memiliki nilai dalam dirinya. Paham
demikian bila dikaitkan lagi dengan berbagai teori dalam persolan etika lingkungan hidup, bisa
dikategorikan dalam Teori Nilai Intrinsik yang beranggapan bahwa bukan saja manusia dan
hewan yang memiliki nilai moral (Human-Centered Ethics atau Antroposentrisme dan Animal-
Centered Ethics) tetapi bahwa semua ciptaan memiliki nilai intrinsik. Paul Taylor, salah satu
pendukung teori ini menekankan juga bahwa secara moral manusia terikat untuk melindungi dan
mengembangkan kehidupan makhluk lain yang non-manusia.6
Sumbangan ketiga yang bisa disarikan dari kearifan lokal Badu dan Sau adalah bahwa
tradisi itu awalnya lahir dari anggapan masyarakat yang memandang bahwa alam bersifat sakral.
Atas ala'san itu hutan di kawasan tertentu dikenakan larangan untuk tidak dirusak dan hasilnya
hanya diambil sesuai kebutuhan, lahan tertentu tidak boleh diolah atau boleh diolah hanya pada
tahun-tahun tertentu saja. Ada kolam atau gua-gua tertentu yang dianggap punya penghuni dan
penjaga yang sangat ditakuti, mengandung daya supra-natural. Untuk masa sekarang, pandangan
seperti itu sudah kedengaran asing. Tetapi sebagai makhluk yang bertanggung jawab baiklah
kita tetap menaruh rasa hormat pada lingkungan hidup kita, sebab alam pun adalah ciptaan
dari Tuhan sama seperti manusia meski tidak sederajat. Alam pun memiliki hak-hak tertentu
seperti pada manusia, setidak-tidalmya hak untuk berada. Atau hak-hak alam itu bisa dibaca
dalam 'Berne Draft Resolution'7 yang di antaranya adalah bahwa alam, entah berjiwa atau tidak,
berhak untuk berada dan berkembang; berhak untuk mendapatkan perlindungan ekosistimnya
dan jaringan jenis-jenis dan populasi; makhluk beljiwa berhak untuk mendapat pengawetan dan
pengembangan keturunan genetik, serta kelahiran sesuai dengan spesisnya. Sehubungan dengan
sifat sakral dari alam ini, sebuah gerakan yang menamakan dirinya kelompok ekofeminisme
(sedang gencar di Amerika dan Eropa) menganut suatu spiritualitas yang mengakui ciri sakral
dari segala makhluk hidup.8 Ekofeminisme itu merupakan suatu paham yang memadukan
segala jenis perjuangan kaum feminis dengan menyertakan kepedulian terhadap keutuhan planet
ini. Berhadapan dengan krisis yang melanda planet ini, mereka menerapkan suatu strategi
untuk memperjuangkan pengakuan terhadap kekudusan alam. Menurut mereka, kini cita rasa
kesakralan dari alam telah hilang. Alasan inilah yang mendorong banyak kaum perempuan di
Amerika dan Eropa untuk memperjuangkan kembali pengakuan akan kesakralan alarm. Banyak
kaum ekofeminis yang berkarya dalam bingkai Yudaisme dan agama kristen guna menemukan
kembali visi organis dan holistik tentang yang sakral. Yang lain berpaling pada ajaran-ajaran
yang terdapat dalam Budhisme, Hinduisme dan agama paradewi.
Adapun sumbangan lain yang dapat diringkaskan dari kearifan lokal di atas adalah bahwa
dengan menjalankan tradisi itu, prinsip keadilan sosial di antara sesama anggota masyarakat
akan terjamin. Leluhur masyarakat Fialaran menganggap bahwa semua anggota masyarakat
berhak untuk menikmati hasil alam. Dengan membagi-bagikan hasil kebun pada anggota.
masyarakat lain yang tidak memiliki kebun, atau secara bersama-sama mengambil hasil hutan
atau hasil sungai dan danau sesuai kebutuhan masing-masing; semua anggota masyarakat dengan
sendirinya akan merasa bertangung jawab untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup di
sekitarnya.
Hal yang lebih penting lagi untuk ditekankan di sini adalah bahwa pada intinya tradisi Badu
dan Sau ini bertujuan untuk memelihara keberlangsungan hidup dan kelestarian lingkungan di
sekitarnya Seperti telah dijelaskan di atas, dalam tradisi ini anggota masyarakat hanya boleh
mengambil hasil dari alam bila dibutuhkan, bila musim panen tiba, dan hanya yang telah
layakatau matang untuk dikonsumsi. Dengan cara demikian, kelestarian lingkungan hidup dan
kelangsungan hidup spesis tertentu bisa terjamin.
4. Penutup
Seperti yang telah disinggung dalam uraian terdahulu, zaman di mana relasi antara manusia
dan alam yang masih terasa harmonis dan kelestarian alam masih terpelihara kini telah berlalu.
Manusia zaman ini tidak saja dihadapkan pada suatu situasi alam yang serba kaos, tetapi dia juga
harus beusaha agar alam atau lingkungan yang dihuninya itu tidak punah. Manusia kini berada
pada posisi dilematis. Di satu pihak ia diharuskan untuk terus mengelola alam demi memenuhi
kebutuhan hidupnya yang kian bertambah dan itu memaksanya untuk berusaha sedemikian
agar dapat mengelola alam semaksimal mungkin, sementara hal ini akan mengakibatkan
terganggunya kelestarian alam. Di lain pihak ia berkewajiban untuk melestarikan serta
melinduugi alam dari eksploitasi yang berlebihan, tetapi kebutuhan hidupnya yang semakin
bertambah memaksa dia untuk terus mengeksploitasi alam agar keberlangsungan hidupnya bisa
terjamin.
Menghadapi persoalan dilematis seperti ini, rasanya perlu bagi manusia untuk berupaya
menemukan berbagai cara yang efektif agar keberlangsungan hidup manusia dan alam; kedua-
duanya terus terjamin. Hai itu ternyata juga telah dipikirkan jauh sebelum generasi ini, sebelum
zaman kita, dan secara sederbana telah dilaksanakan oleh para leluhur kita. Masyarakat
NTT memiliki berbagai kearifan lokal warisan leluhur yang dapat dihidupkan kembali untuk
melestarikan keseimbangan alam. Kearifan lokal dari salah satu suku di NTT (Badu dan Sau
dari Fialaran di Belu) seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya dapat dihidupkan kembali
untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup kita. Pada taraf lokal, kearifan Badu dan Sau
itu dapat dihidupkan kembali; misalnya dengan mengintegrasikanke dalam peraturan-perat:uran
daerah yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam. Peraturan daerah yang
berbasiskan nilai-nilai budaya setempat akan lebih efektif bila diterapkan dan akan lebih dihargai
oleh masyarakat, apalagi di era otonomi seperti sekarang ini; di mana masyarakat tidak lagi
dipaksa untuk melaksanakan suatu kebijakan dari luar melainkan kembali kepada apa yang telah
diwariskan oleh leluhurnya sendiri, berakar pada nilai-nilai budayanya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA:
Bakker, Anton. Kosmologi dan Ekologi. Yogyakarta: Kanisius, 1995 Bone,
Edouard. Bioteknologi dan Bio Etika. Yogykarta: Kanisius, 1998 Chang,
William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001
Clifford, M. Anne. Memperkenalkan Teologi Feminis (pentrj.: JosefM. Florisan). Maumere:
LedaJero, 2002.
Dahler, Franz dan Eka Budianta. Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan Evolusi.
Y ogyakarta: Kanisius, 2000.
Koentjaraningrat. Pengantar IlmuAntropologi. Jakarta: Fa AksaraBaru, 1985.
Sudjana, Egi dan Ryanto. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspe.lctif Etika Bisnis di
lndonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Widianarko, Budi. Ekologi dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
1 William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), pp. 16-19.
2 Franz Dahler dan Eka Budianto, Pijar Peradapan Manusia Denyut Harapan Evolusi
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), pp. 188-189.
3 Dion Pare, „Mengembangkan Relasi Etis dengan Linckungan“, dalam Vox seri 37/3-4, (Ende:
Nusa Indah, 1992), p. 48.
4 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Fa. Aksara Baru, 1983), pp. 186-187.
5 Chang, op.cit., pp. 95-96
6 Chang, op.cit., pp43-45.
7 Chang, p.96
8 Anne M. Cliford, Memperkenalkan Theologi Feminis (Terj.), (Maumere: Ledalero, 2002), pp.
381f.
[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Fa. Aksara Baru, 1983), pp. 186-187.
Oleh: Puplius Meinrad Buru-Berek
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Koment ea sobat
kamu kamu Komen Saya Follow